MIMPI GANDAMANA

Mimpi Gandamana

Aswatama menangisi Ayahnya, Bambang Kumbayana yang luka karena dihajar Gandamana

“Jangan menangis Aswatama bocah bagus, bersabarlah.

Jika saatnya tiba, engkau akan menyaksikan pembalasanku kepada Sucitra dan Gandamana. He he he”



Dendam mengandung daya penghancur yang luar biasa. Si penyimpan dendam tidak akan pernah merasakan cara kerjanya dalam proses penghancuran hidup dan kehidupan. Seperti dendam yang ditumbuhkan di hati Durna. Sebagai Maha Guru ia memang suntuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada para murid-muridnya, tetapi tujuan utamanya bukan untuk para murid, melainkan untuk melampiaskan dendamnya kepada Prabu Durpada dan Gandamana. Sungguh luar biasa, dendam tidak akan pernah berhenti sebelum ‘tuan’nya hancur.

Dikarenakan yang menjadi tujuan utama pengajaran di Sokalima adalah pembalasan sakit hati, maka pesan Resi Bisma kepada Durna agar tidak lupa menanamkan rasa saling mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf kepada Kurawa dan Pandhawa menjadi tidak begitu penting.

Dendam itu pulahlah yang telah menyeret Pandita Durna untuk memperlakukan murid-muridnya dengan tidak adil, Mban cindhe mban siladan, pilih-kasih. Murid yang satu diemban dengan kain cindhe sedangkan murid yang lain diemban dengan siladan (kulit bambu). Diantara ratusan muridnya, Bimasena dan Harjuna mendapat perlakuan istimewa melebihi Aswatama anaknya. Karerna mereka berdua yang memang sebelumnya gemar berguru kepada orang-orang sakti, mempunyai kemampuan di atas rata-rata, bahkan kesaktiannya jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Melalui Bimasena dan Harjuna inilah, Durna berharap dendamnya kepada Prabu Durpada dan Gandamana dapat dilampiaskan.

“Salahkan aku, sebagai guru menaruh perhatian khusus kepada murid-murid berprestasi? Dosakah aku, sebagai seorang guru mencintai murid-murid yang patuh berbakti, dan menjunjung tinggi nama sang guru? Jika kalian ingin mendapat perhatian dan rasa cintaku seperti yang aku berikan kepada Bimasena dan Harjuna, berusahalah patuh dan berprestasi seperti mereka.”

Demikianlah Durna selalu membela diri, mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Tanpa pernah mengakui bahwa itu semua adalah buah karya dari dendamnya yang di sekam.

Walaupun tenaga Durna yang memang tidak sempurna lagi itu telah ditumpahkan untuk murid-muridnya, tidaklah mudah membentuk orang-orang sakti dalam waktu singkat. Beberapa tahun berlalu, semenjak Durna mengangkat murid Pandhawa dan Kurawa, belum ada satupun muridnya yang kemampuannya berada diatas kemampuan Gandamana, termasuk juga Bimasena dan Harjuna, murid andalannya.

Pada suatu pagi, sebelum matahari terasa panas sinarnya. Durna berdiri diatas panggungan, dengan matanya yang tajam, ia mengamati sepasang-sepasang muridnya di arena latih tanding. Ketika tiba gilirannya pasangan Bimasena dan pasangan Harjuna menunjukkan kemampuannya, ia tersenyum puas melihat ilmu kedua murid kesayangan tersebut maju dengan pesat. Namun apakah kemampuan mereka cukup memadai untuk menandingi Gandamana? Siang-malam Durna senantiasa berharap agar saat pembalasan segera tiba. Ia ingin melunasi janjinya kepada Aswatama, sewaktu anaknya menangis melihat luka-luka yang dideritanya. “Jangan menangis Aswatama bocah bagus, bersabarlah. Nanti jika saatnya tiba, akan kutunjukan di depanmu pembalasanku kepada Sucitra (Prabu Durpada) dan Gandamana. He he he”

Di Keraton Cempalaradya pada suatu malam, Gandamana tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Waktu tepat menunjukkan pukul dua dinihari. Jatungnya masih berdetak keras. Mimpi yang baru saja datang dalam tidurnya, membuat bergetar hatinya. Dalam mimpi tersebut ia didatangi Prabu Pandudewanata.

“Patih Gandamana, apakah engkau masih setia padaku?”

“Adhuh Sinuwun Prabu, aku selalu setia kepada Hastinapura dan Prabu Pandudewanata sampai akhir hayatku.”

“Terimakasih Gandamana, aku ingin bukti dengan apa yang engkau katakan.”

“Sinuwun Prabu, apakah yang Paduka kehendaki atas diriku ini?”

“Bersiaplah mengikuti aku ke medan perang!”

“Baiklah Sinuwun, di mana dan berapa pasukan mesthi aku persiapan?”

“Aku tidak memerlukan pasukan kerajaan. Cukup engkau seorang.” Prabu Pandudewanata tersenyum, sebentar kemudian hilang dari pandangan. Aku tiba-tiba sudah berada di medan pertempuran yang sengit. Mereka saling membunuh dengan ganas. Jantungku berdegup keras, selama menjadi Patih Hastinapura baru kali ini aku melihat pertempuran yang lebih dahsyat dari ‘Perang Pamukswa’ perang antara Hastinapura dan Pringgandani. Aku menebarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin, dan dengan jelas melihat bahwa pertempuran tersebut melibatkan empat raja. Yang membedakan antara raja yang satu dengan raja yang lainnya adalah warna pakaiannya, termasuk bala tentaranya. Raja yang berpakaian serba Merah, bala tentaranya berpakaian serba merah. Raja yang berpakaian Hitam, bala tentaranya juga berpakaian serba Hitam. Demikian juga raja yang berpakaian Kuning dan Putih. Diantara raja-raja tersebut, aku tidak melihat Prabu Pandudewanata. Dimanakah beliau berada? Bukankah beliau yang mengajakku ke medan perang?

Sebelum pertanyaanku terjawab, tiba-tiba ke empat raja beserta pengikutnya menyerang aku. Puluhan ribu senjata diacung-acungkan kepadaku. Sungguh mengerikan sekujur tubuhku bergetar. Sebentar lagi badanku akan lumat dicincang mereka. Namun aku tidak bisa meninggalkan medan perang. Aku bukan pengecut. Apa lagi aku telah berjanji kepada Prabu Pandudewanata untuk ikut ke medan perang, bertempur sampai titik darah penghabisan. Maka aku songsong mereka dengan muka tegak dan dada terbuka. Dhuaarr! Benturan dahsyat terjadi, aku terbangun.

Sementara kidung malam masih menyisakan suaranya, pikiran Gandamana menerawang jauh di masa lampau, ketika ia masih menjadi Maha Patih Hastinapura. Kenangan bersama Prabu Pandudewanata sungguh membangkitkan kerinduan. Rindu masa-masa kejayaan, rindu kepada Raja yang ia cintai dan ia hormati.

Namun kini semua tinggal kenangan, Prabu Pandu Dewanata telah memasuki alam keabadian. Namun ia masih berkenan mengunjungi aku. “Apakah Sang prabu juga rindu kepadaku? Aku sangat bahagia karenanya, Sang Prabu meninggalkan senyum abadi kepadaku. Meskipun hanya di dalam mimpi.

herjaka

Artikel ini diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/kidung-malam-17-mimpi-gandamana/



Aswatama menangisi ayahnya, lukisan karya : Herjaka, tahun 2000. Di ambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/07/kidung-malam-17-mimpi-gandamana/



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
coompax-digital magazine