Ambika dan Ambalika Menuai Badai
Dada Dewi Ambika dan Ambalika yang sintal bergetar setiap kali kedua bola matanya menatap wajah Bhisma. Dua perempuan dari negeri Kasi itu tak juga mengerti kenapa lelaki pujaannya itu tetap bergeming; dingin dan cuek. Jangankan menyentuh, sekadar melirik pun tak pernah mau melakukannya. Padahal, sesungguhnya dialah pewaris sah bangsa Kuru. Kalau dia mau, jangankan dua perempuan, seratus perempuan pun pasti akan saling berebut untuk mendapatkan cintanya. Namun, sumpah dan dharmanya untuk tidak menjadi pewaris tahta dan ingin menjauhkan diri dari gebyar duniawi telah membuat lelaki perkasa itu harus mengubur segala hasrat dan keinginannya. Dia tak ubahnya patung hidup yang telah kehilangan nafsu dan hasrat untuk bersentuhan dengan perempuan. Bahkan, untuk mempertahankan kesetiaan pada sumpah dan dharmanya, dia tega membunuh Dewi Amba, perempuan cantik dari negeri Kasi yang amat mencintainya.
“Bener-bener lelaki gebleg! Lelaki di luar
Hal yang sama juga dialami Ambika. Perempuan yang selalu tampil dengan rambut tergerai hingga sebahu itu sudah amat lama mendambakan Bhisma sebagai tambatan hatinya sejak dia diboyong ke Hastina. Selain tampan, Bhisma juga seorang ksatria pilih tanding. Namun, harapan itu pupus ketika Bhisma justru menyerahkan dirinya kepada Citranggada; lelaki yang terkesan feminim, tetapi mendadak bisa berubah biadab ketika sindrom kekejaman merasuki lorong batinnya. Apa boleh buat, Ambika tak punya pilihan, selain harus menerima Citranggada sebagai suaminya.
Akan tetapi, setelah Citranggada meninggal secara tragis di alun-alun Hastina, hasrat dan keinginannya untuk bisa bersanding dengan Bhisma kembali bersemi. Ambika tahu, hal itu mustahil terwujud. Namun, entah mengapa, semakin dilupakan, bayangan Bhisma justru seperti silhuet yang terus membuntuti dirinya.
Semula, Ambika dan Ambalika masih sanggup menutupi kerahasiaan yang menelikung batinnya. Namun, semakin rahasia itu dipendam, justru hasrat untuk bisa bersanding dengan Bhisma kian menggebu, hingga akhirnya mereka sama-sama maklum kalau harus mencintai lelaki yang sama.
“Hahahaha ….” Tawa mereka renyah suatu ketika setelah sama-sama mengungkapkan hasrat dan keinginannya. Meski demikian, mereka juga sama-sama memahami kalau impian itu mustahil dapat terwujud.
“Gimana, kalau kita nekad aja, Mbak?” desak Ambalika. Ambika membelalakkan bola mata. “Kita langsung serbu saja kamarnya! Jika perlu kita jebak dan bikin dia mabuk!” Gimana?” sambung Ambalika.
“Alah, mana mempan Mas Bhisma ditaklukkan dengan cara-cara kuna seperti itu?” sahut Ambika. “Sekarang yang penting, bagaimana caranya agar kita tetap bisa bertahan di Hastina!” lanjut Ambika. Belum tuntas mereka menumpahkan topik pergunjingan, tiba-tiba muncul Bhisma dari balik pintu. Dada kedua perempuan itu kian bergetar. Salah tingkah!
“Ambika, Ambalika! Sedang apa nih?” tanya Bhisma dengan sorot mata teduh dan berwibawa.
“Emmm … biasa, Mas, cari angin. Di kamar sumpek!” sahut Ambalika terbata-bata! Ambika hanya bisa tertunduk dengan dada bergemuruh.
“Kalian tak usah khawatir. Meski Citranggada dan Wicitrawirya sudah tiada, kalian tetap menjadi keluarga besar bangsa Kuru!” kata Bhisma dingin.
Entah, tiba-tiba saja ulu hati kedua perempuan itu seperti dihantam godam. Perih dan menyayat. Bhisma seperti bisa menebak apa yang ada dalam pikiran mereka. Keringat dingin tiba-tiba saja mencair di sela-sela anak rambut yang tumbuh lembut di jidat. Mereka tidak tahu, mengapa setiap kali berhadapan dengan Bhisma, mereka seperti mati kutu. Salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Sudahlah! Saya mau menghadap Bunda Satyawati dulu, yak!” sela Bhisma ketika kedua perempuan itu sedang mencoba untuk menenangkan perasaannya. Mereka tak menjawab apa-apa sampai akhirnya bayangan Bhisma hilang di balik sebuah tikungan.
Kegelisahan tak hanya dirasakan Ambika dan Ambalika. Satyawati justru menghadapi persoalan yang jauh lebih rumit. Dia merasa bersalah kepada Bhisma. Karena sikapnya yang serakah dan menginginkan agar anak keturunannya menjadi penguasa Hastina, dia telah membuat Bhisma harus kehilangan haknya sebagai pewaris sah Hastina. Dan kini, setelah Citranggada dan Wicitrawirya meninggal, Hastina seperti telah kehilangan pamornya.
“Sudahlah. Bunda! Bunda jangan merasa bersalah. Ini sudah menjadi kehendak takdir yang mesti saya jalani. Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana agar rakyat Hastina bisa secepatnya memiliki seorang pemimpin yang baru!” kata Bhisma ketika mendengarkan keluhan Dewi Satyawati.
“Lalu, siapa yang pantas menduduki tahta itu, anakku?” tanya Satyawati sambil menahan napas.
“Abiyasa!”
Gendang telinga Satyawati seperti tersengat lebah. Dia tak menduga kalau anak kandungnya yang lahir atas perkawinannya dengan Parasara itu, dipilih Bhisma sebagai penguasa Hastina.
“Sebentar, anakku! Apa tidak salah kamu memilih Abiyasa? Dia memang anakku, tapi dia bukan keturunan langsung almarhum Sentanu! Dia bukan keturunan bangsa Kuru!”
“Bunda! Bagi saya, Abiyasa sudah saya anggap sebagai keluarga besar bangsa Kuru. Meski bukan keturunan langsung ayahanda, tetapi dia putra Bunda, seperti saya juga!” sahut Bhisma. Satyawati menelan ludah. Diam-diam, dia sangat mengagumi Bhisma. Ketika banyak orang saling berebut tahta, harta, dan wanita, justru Bhisma bertekad menjauhkan diri dari segala urusan duniawi.
“Percayalah, Bunda! Saya tak akan pernah mengusik ketenangan Abiyasa dalam memimpin Hastina. Bahkan, saya telah bertekad untuk mendukungnya agar bangsa Kuru menjadi sebuah negeri impian, agung, megah, dan jaya!” tegas Bhisma.
“Emmmm …. Tapi Abiyasa
“Bunda tak usah khawatir. Kalau sarat itu diperlukan, saya siap untuk mencarikan jodoh buat Abiyasa!”
Pernikahan agung pun digelar. Atas bujukan Bhisma, Ambika dan Ambalika akhirnya bersedia menjadi istri Abiyasa yang berwajah bopeng dan menyeramkan. Tak lama kemudian, Abiyasa dilantik sebagai penguasa yang agung di negeri Hastina. Meski demikian, Ambika dan Ambalika belum juga sanggup menepiskan kekecewaannya ketika harus menikah dengan Abiyasa.
Semenjak menikah dengan Abiyasa, Ambika dan Ambalika seperti tersekap dalam sebuah lorong yang panjang dan singup. Setiap kali harus melayani Abiyasa di atas ranjang, Ambika merasa jijik sehingga terpaksa memejamkan mata. Dia tak sanggup menatap wajah suaminya yang tampak seperti monster itu. Demikian juga halnya dengan Ambalika. Setiap kali berada di atas ranjang bersama suaminya, dia merasa ketakutan dan berwajah pucat sehingga terpaksa memalingkan muka. Situasi memuakkan seperti itu terus berlangsung hingga akhirnya perut mereka pun gagal menolak benih yang ditaburkan oleh Abiyasa.
Sembilan bulan kemudian, anak mereka pun lahir. Namun, sungguh
“Siapa menabur benih, bakal menuai badai!” Begitulah harga mahal yang harus ditebus Ambika dan Ambalika. Ternyata, anak yang lahir dari hasil pesekongkolan itu juga cacat. Kakinya pincang dan diberi nama Arya Widura.
Namun, siapa menyangka kalau anak keturunan Ambika dan Ambalika yang lahir tak sempurna itu kelak akan membuat geger peradaban jagad pewayangan. Banyak peristiwa tragis berbalut kelembutan yang ditorehkan oleh generasi masa depan Hastinapura itu.
Ki sawali Tuhusetya (Artikel ini diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/ambika-dan-ambalika-menuai-badai/#more-1391).