DRUPADA DALAM GAMBAR
DRUPADA
Drupada
Drupada (Sanskerta: द्रुपद; Drupada), atau sering pula disebut Yadnyasena (Sanskerta: यज्ञसेन; Yajñasena), adalah nama raja Kerajaan Pancala dalamwiracarita Mahabharata. Semasa muda ia bersahabat dengan Drona, guru para Pandawa dan Korawa. Namun persahabatan mereka kemudian berubah menjadi permusuhan di mana Drupada akhirnya tewas di tangan Drona dalam perang besar di Kurukshetra atau Baratayuda.
Masa muda
Drupada adalah putra dari Prisata, raja Kerajaan Pancala. Sewaktu muda ia belajar bersama dengan Drona, seorang brahmanamiskin putra Baradwaja. Keduanya pun menjalin persahabatan akrab. Bahkan Drupada berjanji jika kelak ia menjadi raja menggantikan ayahnya, Drona akan diberinya sebagian dari wilayah Pancala.
Drupada akhirnya benar-benar menjadi raja Pancala sepeninggal ayahnya. Sementara itu, Drona menikah dengan Krepi adik perempuan Krepa, seorang brahmana di Kerajaan Kuru atau Hastinapura.
Ayah Srikandi
Pada suatu hari datang seorang putri bernama Amba menemui Drupada meminta bantuan untuk membunuh pria yang telah mengecewakannya, bernama Bisma dari Hastinapura. Drupada menolak karena takut akan kesaktian Bisma. Amba pun pergi dengan kecewa dan meninggalkan untaian bunga di pintu gerbang Kerajaan Pancala. Untaian bunga tersebut adalah pemberian dewata dan barangsiapa sanggup memakainya maka ia akan menjadi penyebab kematian Bisma.
Drupada melarang semua warganya agar tidak menyentuh untaian bunga peninggalan Amba. Sampai beberapa tahun kemudian, putri sulung Drupada yang bernama Srikandi berani mangambil dan memakainya sebagai kalung. Adapun Srikandi tidak lain adalah reinkarnasi dari Amba sendiri.
Srikandi tertarik mempelajari ilmu perang. Atas kehendak dewata, ia pun mengalami pergantian kelamin menjadi laki-laki. Meskipun demikian, ia tidak bisa menjadi pria seutuhnya sehingga lebih cenderung seperti seorang waria.
Drona yang telah menikah dengan Krepi dikaruniai seorang putra bernama Aswatama. Demi untuk mencukupi makanan istri dan anaknya yang masih kecil, Drona datang ke Pancala meminta Drupada menepati janji persahatannya dulu. Namun, Drupada justru menghina Drona dengan mengatakan kalau persahabatan hanya berlaku di antara orang-orang yang sederajat.
Drona kecewa dan menetap di Hastinapura. Di
Para Pandawa ganti berangkat untuk menyerang Pancala. meskipun tanpa membawa pasukan, kelima putra Pandu tersebut berhasil menangkap Drupada dan menyerahkannya kepada Drona. dengan demikian, Drona telah berhasil merebut kekuasaan Pancala. Ia pun memberikan setengah dari wilayah kekuasaannya tersebut kepada Drupada.
Kelahiran Pembunuh Drona
Drupada merasa sangat terhina atas perlakuan Drona kepadanya. Ia juga iri mengetahui Drona memiliki banyak murid yang patuh dan setia, sedangkan dirinya hanya memiliki seorang anak yang bersifat waria.
Drupada kemudian bertapa di hutan di mana ia bertemu dua orang pendeta bernama Yodya dan Upayodya. Keduanya sanggup membantu Drupada mencapai cita-citanya.
Maka diadakanlah upacara putrakama yang dipimpin oleh kedua pendeta tersebut. Dari dalam api pengorbanan kemudian muncul seorang pemuda membawa senjata lengkap. Disusul berikutnya seorang putri cantik di belakangnya. Drupada mengakui keduanya sebagai anak. Yang laki-laki diberi nama Drestadyumna, sedangkan yang perempuan diberi nama Kresna, namun kemudian lebih terkenal dengan sebutan Dropadi, yang bermakna "anak Drupada".
Drestadyumna kemudian berguru kepada Drona, musuh ayahnya. Drona menyadari bahwa Drestadyumna dilahirkan ke dunia untuk membunuhnya. Namun ia tetap menerimanya sebagai murid dan mengajarinya segala jenis ilmu perang sebagaimana ia telah mengajari Korawa dan Pandawa sebelumnya.
Sayembara untuk Dropadi
Kecantikan Dropadi yang luar biasa membuat banyak orang ingin menikahinya. Drupada pun mengadakan sayembara memanah untuk memilih siapa yang paling tepat menjadi menantunya. Sayembara tersebut hampir saja dimenangkan oleh Karna, sahabat para Korawa. Namun Dropadi dengan tegas menolak menjadi istri anak seorang kusir kereta.
Karna yang sakit hati mengumumkan bahwa Dropadi akan menjadi perawan tua karena sayembaranya terlalu sulit dan tidak ada lagi yang mampu memenangkannya. Drupada merasa khawatir mendengar ucapan Karna. Ia pun membuka pendaftaran baru untuk mengikuti sayembara memanah yang berhadiahkan Dropadi. Pendaftaran ini tidak hanya sebatas untuk kaum ksatriya saja, melainkan siapa saja boleh mendaftar.
Akhirnya yang berhasil memenangkan sayembara memanah ialah Arjuna, salah satu dari Pandawa yang saat itu sedang menyamar menjadi pendeta muda. Dropadi pun diserahkan kepadanya. Namun karena kesalahpahaman, ia diperistri oleh kelima Pandawa sekaligus. Dengan kata lain, sejak saat itu Drupada menjadi mertua Pandawa
Kematian di Kurukshetra
Beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara besar-besaran antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Dalam hal ini Drupada bertindak sebagai salah satu sekutu penting para Pandawa, sedangkan Drona berada di pihak Korawa.
Perang di Kurukshetra atau Baratayuda memakan waktu lebih dari sehari. Pada hari ke-15, Drona bertanding melawan Wirata raja Kerajaan Matsya. Dalam pertempuran tersebut Wirata tewas. Drupada kemudian maju menghadapi Drona. Pertempuran antara keduanya akhirnya dimenangkan oleh Drona. Drupada tewas di tangan bekas sahabatnya.
Drona sendiri akhirnya tewas pula pada hari yang sama setelah kepalanya dipenggal oleh Drestadyumna putra Drupada.
Versi Pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Drupada mewarisi Kerajaan Pancala bukan dari ayahnya melainkan dari mertuanya. Menurut versi ini, Drupada adalah sepupu Drona. Ayahnya bernama Resi Dwapara merupakan kakak dari Resi Baradwaja, ayah Drona. Drupada sendiri memiliki nama asli Sucitra.
Pada suatu hari Sucitra pergi meninggalkan negeri Atasangin untuk mengabdi kepada Pandu raja Kerajaan Hastina. Pandu menyukai tingkah laku Sucitra dan manganggapnya sebagai saudara. Sucitra kemudian didaftarkan sayembara di Pancala, yaitu mengalahkan Gandamana putra Gandabayu, raja negeri tersebut. Adapun hadiah sayembara ialah kakak perempuan Gandamana yang bernama Gandawati.
Sucitra yang sudah dibekali pusaka berwujud sumping (perhiasan telinga) milik Pandu akhirnya berhasil mengalahkan Gandamana yang terkenal sakti. Ia pun berhak menikahi Gandawati. Bahkan, setelah Gandabayu meninggal, Sucitra naik takhta sebagai raja Pancala karena Gandamana memilih mengabdi kepada Pandu sebagai patih.
Sucitra yang telah resmi menjadi raja Pancala memaki gelar Prabu Drupada. Dari perkawinannya dengan Gandawati lahir tiga orang anak yang urutannya berbeda dengan versi aslinya. Mereka adalah Drupadi, Srikandi, dan Drestadyumna.
Kematian Drupada versi pewayangan juga terjadi dalam perang Baratayuda, di mana ia tewas terkena panah pusaka Simbarmanyura milik Drona pemberian gurunya, yaitu Ramaparasu.
Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Drupada
GENDHARI
Dewi Gendari mempunyai tiga orang saudara kandung, masing-masing bernama ; Arya Sakuni, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa.
Dewi Gendari menikah dengan Prabu Drestarasta, raja negara Astina, putra Prabu Kresnadwipayana/Bagawan Abiyasa dengan permaisuri Dewi Ambika.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 100 (seratus) orang anak, tetapi pada waktu lahirnya berwujud gumpalan darah kental, yang oleh Dewi Gendari dicerai beraikan menjadi seratus potongan, dan atas kehendak Dewata menjelma menjadi bayi Manusia.
Keseratus putra Dewi Gandari tersebut dikenal dengan nama Sata Kurawa.
Diantara mereka yang terkenal dalam pedalangan adalah: Duryudana (raja negara Astina). Bogadatta, (raja negara Turilaya), Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.
Dewi Gendari mempunyai sifat kejam dan bengis.
Dewi Gendari selalu mementingkan diri sendiri dan tidak segan-segan berkhianat serta pendendam.
Dendam dan kebenciannya terhadap Pandu, menjadi penyebab utama kebencian anak-anaknya, Kurawa terhadap Pandawa.
Artikel dan gambar diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/index.php?option=com_content&view=article&id=874&Itemid=873
GAMBAR RADEN HARYA BURISRAWA
BURISRAWA
Burisrawa
Burisrawa (Sansekerta: भूरिश्रवा; Bhūriśravā) adalah seorang tokoh wiracarita Mahabharata yang menjadi sekutu para Korawa dalam perangBaratayuda. Ia merupakan pangeran dari Kerajaan Bahlika yang gugur di tangan Satyaki, sekutu para Pandawa. Dalam pewayangan Jawa, tokoh Burisrawa disebut berasal dari Kerajaan Mandaraka.
Asal-Usul
Menurut versi Mahabharata, Burisrawa merupakan putra dari Somadatta raja Kerajaan Bahlika. Somadatta sendiri merupakan keturunan Kerajaan Kuru, jadi ia masih kerabat para Korawa dan Pandawa. Somadatta memiliki empat orang putra, yaitu Burisrawa, Buri, Sala, dan Saumadatti. Namun, versi lain menyebut Saumadatti sama dengan Burisrawa. Dalam perang Baratayuda, Somadatta dan putra-putranya tewas di tangan Satyaki, kecuali Saumadatti yang tewas di tangan para Pancakumara.
Versi pewayangan Jawa menyebut Somadatta dengan ejaan Somadenta, dan merupakan nama lain Salya rajaKerajaan Mandaraka. Maka, Burisrawa pun secara otomatis disebut sebagai putra Salya. Padahal, Somadatta dan Salya dalam Mahabharata adalah dua tokoh yang berbeda.
Salya versi Jawa menikah dengan Setyawati dan memiliki lima orang anak, yaitu Erawati, Surtikanti, Banowati, Burisrawa, dan Rukmarata. Ketiga putri Salya masing-masing menikah dengan Baladewa, Karna, dan Duryudana. Di antara kelima anak Salya, hanya Burisrawa yang memiliki wajah buruk seperti raksasa, sedangkan yang lainnya cantik dan tampan. Hal ini merupakan kutukan karena Salya semasa muda pernah membunuh mertuanya sendiri yang berwujud raksasa karena jijik. Mertuanya itu bernama Resi Bagaspati. Akibat dosa tersebut, salah satu anak Salya pun terlahir buruk rupa, yaitu Burisrawa.
Burisrawa dalam pewayangan tidak tinggal di istana Mandaraka bersama ayah ibunya, melainkan menyendiri di Kasatriyan Madyapura.
Bersaing dengan Arjuna
Pandawa nomor tiga, yaitu Arjuna dalam Mahabharata bersaing dengan Duryodana untuk bisa memperistriSubadra. Sementara itu dalam pewayangan Jawa, saingannya adalah Burisrawa.
Dikisahkan Arjuna dan Subadra telah dijodohkan sejak kecil. Namun Subadra juga dicintai oleh Burisrawa. Duryudana sebagai kakak ipar meminta bantuan Baladewa untuk menikahkan Subadra dengan Burisrawa, bukan Arjuna. Baladewa terpengaruh. Ia pun mengajukan syarat-syarat berat kepada Arjuna jika ingin menikahi Subadra, adiknya.
Ternyata Arjuna berhasil memenuhi semua persyaratan yang diajukan Baladewa. Kresna yang juga kakak Subadra meminta Baladewa berlaku adil. Akhirnya, Baladewa pun menetapkan pernikahan antara Subadra dengan Arjuna. Hal itu membuat Burisrawa pulang dengan penuh rasa malu.
Permusuhan dengan Satyaki
Versi Mahabharata menyebut keluarga Burisrawa dan keluarga Satyaki merupakan musuh bebuyutan. Dikisahkan bahwa Dewaki putri Ugrasena sedang diperebutkan banyak orang. Maka diadakanlah sayembara pertandingan untuk siapa saja yang ingin memperistri Dewaki. Setelah melewati berbagai babak, akhirnya tersisa dua orang pelamar yang masih bertahan, yaitu Somadatta dari bangsa Kuru, dan Sini dari bangsa Wresni. Dalam pertarungan terakhir itu, Sini berhasil mengalahkan Somadatta.
Somadatta merupakan ayah Burisrawa, sedangkan Sini adalah kakek dari Satyaki. Sini sendiri melamar Dewaki untuk dipersembahkan kepada Basudewa. Dari perkawinan itu kemudian lahir Kresna.
Dalam perang Baratayuda keluarga Burisrawa memihak Korawa sedangkan keluarga Satyaki memihak Pandawa. Pada hari kedelapan anak-anak Satyaki yang berjumlah sepuluh orang tewas di tangan Burisrawa. Burisrawa sendiri kemudian mati di tangan Satyaki pada hari ke-14, disusul kemudian oleh Somadatta, Buri, dan Sala pada hari berikutnya.
Mati dalam Damai
Baik versi Mahabharata maupun versi Jawa mengisahkan Burisrawa mati di tangan Satyaki dengan bantuan Arjuna dalam perang Baratayuda.
Pada hari ke-13 putra pasangan Arjuna dan Subadra yang bernama Abimanyu tewas dikeroyok pasukan Korawa secara licik. Arjuna bersumpah akan membunuhJayadrata yang dianggapnya sebagai penyebab kematian Abimanyu. Pada hari ke-14 Arjuna berjuang keras untuk menemukan Jayadrata yang disembunyikan para Korawa. Satyaki ditugasi untuk menjaga Yudistira dari serangan pihak Korawa yang dipimpin Drona. Namun, Yudistira justru mengirim Satyaki untuk membantu Arjuna.
Dalam perjalanan menyusul Arjuna, Satyaki banyak dihadang musuh, namun semuanya dapat ditewaskannya. Pada puncaknya, ia harus menghadapi Burisrawa. Satyaki yang sudah sangat letih dengan mudah dihajar Burisrawa sampai pingsan. Tangan Burisrawa yang memegang pedang siap membunuh Satyaki.
Arjuna yang telah menemukan persembunyian Jayadrata didesak Kresna untuk berbalik membantu Satyaki. Arjuna pun melepaskan panah memotong lengan Burisrawa. Burisrawa marah menuduh Arjuna berbuat curang. Arjuna menjawab bahwa Burisrawa lebih dulu bersikap curang karena hendak membunuh Satyaki yang sedang pingsan. Apalagi pada hari sebelumnya, Burisrawa juga terlibat pengeroyokan Abimanyu.
Burisrawa luluh mendengar jawaban Arjuna. Ia kemudian duduk bermeditasi menyesali segala perbuatan liciknya. Tiba-tiba Satyaki bangkit dari pingsan dan memungut potongan lengan Burisrawa yang masih memegang pedang. Dengan menggunakan pedang tersebut, Satyaki memenggal kepala Burisrawa. Burisrawa pun mati dalam damai.
Dalam Kakawin Bharatayuddha, pedang yang digunakan Satyaki untuk membunuh Burisrawa bernama pedang Mangekabhama, sedangkan dalam naskah Serat Bratayuda, Satyaki menggunakan panah Nagabanda. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa, senjata yang digunakan untuk mengakhiri nyawa Burisrawa adalah gada Wesikuning. (Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Burisrawa).
ARYA DRESTAJUMENA
ARYA DRESTAJUMENA atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini.
Arya Drestajumena mempunyai kakak kandung dua orang masing-masing bernama; Dewi Drupadi, istri Prabu Yudhistira, raja Amarta, dan Dewi Srikandi, istri Arjuna.
Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putra lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya.
Arya Drestajumena berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas.
Arya Drestajumena menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki bernama; Drestaka dan Drestara.
Arya Drestajumena ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuda. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Kurawa, yaitu Resi Durna.
Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Arya Drestajumena.
Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya Resi Durna dapat dibinasakan oleh Arya Drestajumena dengan dipenggal lehernya. Arya Drestajumena mati setelah berakhirnya perang Bharatayuda.
Arya Drestajumena tewas dibunuh Aswatama, putra Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Astina dalam usahanya membunuh bayi Parikesit.
RADEN DRUSTAJUMNA
Raden Drustajumna putra Prabu Drupada dari negara Cempalareja. Ia seorang ksatria yang gagah berani. Dalam perang Baratayuda ia memenggal kepala Pendeta Durna untuk memperlihatkan, bahwa ia seorang orang yang berani. Tetapi perbuatan Drustajumna itu mendapat celaan dan dianggap menghina derajat seorang pendeta yang adalah guru sekalian Pendawa dan Korawa. Drustajumna tewas oleh Aswatama sehabis perang Baratayuda. Kepalanya dipenggal selagi ia sedang tidur sebagai pembalasan atas perbuatannya terhadap Durna dan juga sebagai balasan seorang anak kepada bapaknya. Pendeta Durna di dalam pewayangan umumnya dianggap sebagai tokoh hina karena pemihakannya pada Korawa. Tetapi sesungguhnya ia adalah seorang pendeta yang berilmu tinggi yang ditakuti oleh pihak Pendawa dan Korawa, oleh karena ia adalah guru sekalian Pendawa dan Korawa.
Raden Drustajumna bermata jaitan, berhdung mancung, bermuka agak mendongak. Bersanggul gembel. Berjamang dengan garuda membelakang. Bersunting waderan. Berpraba. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain bokongan raton.
Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka – 1982
(Artikel ini diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/index.php?option=com_content&task=view&id=829&Itemid=829).
ARYA WIDANDINI
ARYA WIDANDINI adalah salah seorang dari 100 orang keluarga Kurawa (Sata Kurawa) yang terkemuka. Ia putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Dari 100 orang saudaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah ; Duryudana (raja negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Wikataboma, Citraksa, Citraksi, Citraboma,Citrayuda, Carucitra, Dursasana (Adipati Banjarjumut), Durmagati, Durmuka, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, dan Dewi Dursilawati. |
KREPA
Krepa
Krepa atau Kripa (Kṛpa; Kripacharya), adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Resi Saradwana dan Janapadi, dan menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura.
Pada mulanya, ia hidup di hutan bersama dengan adiknya yang bernama Krepi. Suatu ketika Prabu Santanu dariHastinapura berburu ke tengah hutan. Karena merasa kasihan dengan keadaan mereka, ia memungut Krepa dan Krepi, lalu diberi pendidikan. Karena kemahiran Krepa dalam ilmu menggunakan senjata, akhirnya ia diangkat menjadi pejabat di Hastinapura dan diberi kepercayaan untuk mendidik para pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa).
Ketika Karna menantang Arjuna di sebuah stadion, Krepa menanyakan asal-usul Karna. Pertanyaan itu tidak bisa dijawab Karna. Akhirnya Duryodana datang lalu membela Karna. Ia juga mengangkat Karna menjadi raja di Angga.
Krepa berperang pada pihak Korawa pada saat Baratayuda (perang keluarga Bharata). Sebelum berperang, Yudistiramemberi penghormatan kepadanya. Krepa mengatakan bahwa ia tidak bisa dibunuh. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat Korawa menang. Krepa juga berkata bahwa kemenangan sesungguhnya berpihak pada tokoh yang benar, yaitu para Pandawa.
Ketika Baratayuda berakhir, dari pihak Korawa hanya Krepa, Kertawarma dan Aswatama yang masih hidup. KarenaAswatama marah dengan kekejaman Drestadyumna dari pihak Pandawa yang telah membunuh ayahnya, maka ia menyusup ke kemah Pandawa pada malam hari untuk melampiaskan dendam. Krepa turut serta. Setelah melakukan pembalasan, mereka kabur. Para Pandawa menyusul Aswatama ke tengah hutan, dimana Resi Byasatinggal. Disana, Aswatama diadili dan dikutuk.
Setelah perang berakhir, Krepa tinggal di Hastinapura untuk mendidik penerus Dinasti Kuru. Di antaranya ialahParikesit dan Janamejaya.
Krepa juga dikenal sebagai Ciranjiwin, atau "makhluk berumur panjang". (Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Krepa).
RESI KREPA atau Kirpa (Mahabharata) adalah putra kedua Prabu Purungaji, raja negara Tempuru dengan permaisuri Dewi Uruwaci.
Resi Krepa mempunyai kakak kandung bernama Dewi Krepi yang kemudian menjadi istri Resi Drona.
Dari padepokan Sokalima Sejak muda Krepa mengabdi di negara Astina sejak masa pemerintahan Prabu Pandu.
Karena mahir dalam ilmu falsafah ia diangkat menjadi penasehat kerajaan. Krepa berwatak jujur, setia dan penuh pengabdian.
Resi Krepa hidup sebagai pendeta wadat (tidak bersentuhan dengan wanita).
Ada beberapa versi tentang akhir hidup Resi Krepa, Dalam Mahabharata diceritakan, Resi Krepa hidup sampai jaman Prabu Parikesit, dan diangkat menjadi Parampara/Ahli nujum kerajaan.
Cerita Pedalangan menyebutkan, Krepa mati oleh tangan Adipati Karna, karena ia menentang pengangkatan Adipati Karna menjadi Senapati Agung Kurawa.
Kisah lain menyebutkan. Krepa mati oleh panah Arjuna setelah berakhirnya perang Bharatayuda, tatkala ia bersama Aswatama menyelundup masuk ke dalam istana Astina untuk membunuh Parikesit. (Artikel ini diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/index.php?option=com_content&task=view&id=924&Itemid=924).