Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya.
Basudewa pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing.
Indonesian Batik Various Creativity Child Domestic Work Here, where shopping online batik products. For reservations please call 085648934597, Traditional Batik World
Silsilah dari Kerajaan Mandura
PRABU BASUKUNTI
PRABU BASUKUNTI atau WASUKUNTI yang waktu mudanya bernama Suradewa, adalah putera sulung Prabu Wasukunteya, raja Negara Mandura dengan permaisuri Dewi Sungganawati.
Basukunti mempunyai adik kandung bernama Kuntadewa, yang setelah menjadi raja negara Boja bergelar Prabu Kuntiboja.
Prabu Basukunti menikah dengan Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh 4 ( empat ) orang putra masing-masing bernama:
Arya Basudewa,
Dewi Prita/Dewi Kunti,
Arya Prabu Rukma dan
Arya Ugrasena.
Prabu Basukunti mempunyai sifat dan perwatakan; berani, cerdik pandai, arif bijaksana dan suka menolong.
Setelah usianya lanjut, ia menyerahkan tahta kerajaan Mandura kepada putra sulungnya, Arya Basudewa dan hidup sebagai brahmana sampai meninggal.
Artikel diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/03-wayang-aksara-b-mainmenu-677/26-basukunti-solo-mainmenu-767.html
Silsilah dari Kerajaan Mandura
DEWI MADRIM
DEWI MADRIM atau Dewi Madri adalah putri Prabu Mandrapati, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Tejawati.
Dewi Madrim mempunyai kakak kandung bernama Narasoma, yang setelah menjadi raja Mandaraka bergelar Prabu Salya.
Dewi Madrim menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina dan menjadi permaisuri ke dua mendampingi Dewi Kunti.
Dari perkawinan tersebut, ia berputra dua orang kembar yang diberi nama Nakula dan Sadewa.
Dewi Madrim berwatak penuh belas kasih, setia, sabar dan Wingit.
Akhir riwayat Dewi Madrim diceritakan, ia terjun kedalam Pancaka (api pembakaran jenazah) ikut bela pati atas kematian suaminya, Prabu Pandu. Kedua putra kembarnya, Nakula dan Sadewa yang masih bayi kemudian diasuh oleh Dewi Maerah.
Artikel diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/13-wayang-aksara-m-mainmenu-688/05-madrim-solo-mainmenu-951.html
DEWI KUNTI
DEWI KUNTI atau Dewi Prita (Mahabrata) adalah putri kedua Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.
Dewi Kunti mempunyai tiga orang saudara kandung bernama; Arya Basudewa, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.
Dewi Kunti menikah dengan Prabu Pandu, raja negara Astina, putra Bagawan Abiyasa dengan Dewi Ambiki.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna.
Sebelum menikah dengan Prabu Pandu, Dewi Kunti telah mempunyai seorang putra dari Bathara Surya sebagai akibat kesalahannya merapal/membaca mantera Aji Pepanggil/Aji Gineng ajaran Resi Druwasa.
Putranya tersebut bernama Basukarna/Aradea atau Suryatmaja yang setelah menjadi raja di negara Awangga dikenal dengan nama Adipati Karna.
Dewi Kunti sangat menyenangi dan mempelajari ilmu-ilmu kejiwaan/kebatinan.
Dewi Kunti berwatak penuh belas kasih, setia dan wingit.
Dengan penuh kecintaan ia mengasuh dan mendidik dua orang anak tirinya. Nakula dan Sadewa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, melebihi kecintaannya pada putra-putranya sendiri.
Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Kunti mati moksa bersama-sama dengan Dewi Gandari dan Prabu Drestarasta setelah selesainya perang Bharatayuda.
Artikel diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang/11-wayang-aksara-k-mainmenu-685/42-kunti-solo-mainmenu-941.html
Dalam pewayangan, tokoh Pandu (Bahasa Jawa: Pandhu) merupakan putera kandung Byasa yang menikahi Ambalika, janda Wicitrawirya. Bahkan, Byasa dikisahkan mewarisi takhta Hastinapura sebagai raja sementara sampai Pandu dewasa.
Pandu digambarkan berwajah tampan namun memiliki cacat di bagian leher, sebagai akibat karena ibunya memalingkan muka saat pertama kali menjumpai Byasa.
Pandu kemudian menikah dengan Kunti setelah berhasil memenangkan sayembara di negeri Mathura. Ia bahkan mendapatkan hadiah tambahan, yaitu Puteri Madri, setelah berhasil mengalahkan Salya, kakak sang puteri. Di tengah jalan ia juga berhasil mendapatkan satu puteri lagi bernama Gandari dari negeri Plasajenar, setelah mengalahkan kakaknya yang bernama Prabu Gendara. Puetri yang terakhir ini kemudian diserahkan kepada Dretarastra, kakak Pandu.
Pandu naik takhta di Hastina menggantikan Byasa dengan bergelar "Prabu Pandu Dewanata" atau "Prabu Gandawakstra". Ia memerintah didampingi Gandamana, pangeran Panchala sebagai patih. Tokoh Gandamana ini kemudian disingkirkan oleh Sangkuni, adik Gandari secara licik.
Dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan
Kematian Pandu dalam pewayangan bukan karena bersenggama dengan Madri, melainkan karena berperang melawan Prabu Tremboko, muridnya sendiri.
Dikisahkan bahwa Madri mengidam ingin bertamasya naik Lembu Nandini, wahana Batara Guru. Pandu pun naik ke kahyangan mengajukan permohonan istrinya. Sebagai syarat, ia rela berumur pendek dan masuk neraka. Batara Guru mengabulkan permohonan itu. Pandu dan Madri pun bertamasya di atas punggung Lembu Nandini. Setelah puas, mereka mengembalikan lembu itu kepada Batara Guru. Beberapa bulan kemudian, Madri melahirkan bayi kembar bernama Nakula dan Sadewa.
Sesuai kesanggupannya, Pandu pun berusia pendek. Akibat adu domba dari Sangkuni, Pandu pun terlibat dalam perang melawan muridnya sendiri, yaitu seorang raja raksasa dari negeri Pringgadani bernama Prabu Tremboko. Perang ini dikenal dengan nama Pamoksa. Dalam perang itu, Tremboko gugur terkena anak panah Pandu, namun ia sempat melukai paha lawannya itu menggunakan keris bernama "Kyai Kalanadah". Akibat luka di paha tersebut, Pandu jatuh sakit. Ia akhirnya meninggal dunia setelah menurunkan wasiat agar Hastinapura untuk sementara diperintah oleh Dretarastra sampai kelak Pandawa dewasa. Antara putera-puteri Pandu dan Tremboko kelak terjadi perkawinan, yaitu Bima dengan Hidimbi, yang melahirkan Gatotkaca, seorang kesatria berdarah campuran, manusia dan raksasa.
Istilah Pamoksa seputar kematian Pandu kiranya berbeda dengan istilah moksa dalam agama Hindu. Dalam "Pamoksa", Pandu meninggal dunia musnah bersama seluruh raganya. Jiwanya kemudian masuk neraka sesuai perjanjian. Atas perjuangan putera keduanya, yaitu Bima beberapa tahun kemudian, Pandu akhirnya mendapatkan tempat di surga. Versi lain yang lebih dramatis mengisahkan Pandu tetap memilih hidup di neraka bersama Madri sesuai janjinya kepada dewa. Baginya, tidak menjadi masalah meskipun ia tetap tinggal di neraka, asalkan ia dapat melihat keberhasilan putera-puteranya di dunia. Perasaan bahagia melihat dharma bakti para Pandawa membuatnya merasa hidup di sorga.
Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pandu
NAKULA
NAKULA yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka.
Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna
Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib.
Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing.
Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani.
Nakula juga mempunyai cupu berisi, "Banyu Panguripan/Air kehidupan" pemberian Bhatara Indra.
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.
Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.
Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan
memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang
Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa
yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,
Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)
dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.
SADEWA
SADEWA atau Sahadewa yang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (=buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima/bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula.
Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna.
Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib.
Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus.
Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing.
Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa.
Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia.
Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta.
Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala).
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa).
Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira.
Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya.
Artikel ini diambil dari http://ki-demang.com/gambar_wayang
Puntadewa bermata jaitan, hidung mancung, roman muka tenang. Bersanggul keling dengan sunting waderan. Berkalung putera, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bentuk bokongan puteran. Puntadewa berwanda: Malatsih dan Penganten.
PUNTADEWA adalah putra sulung Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura.
Puntadewa mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama ; Bima/Werkudara dan Arjuna, dan dua orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula/Pinten dan Sahadewa/Tansen, putra Prabu Pandu dengan Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Puntadewa adalah titisan Bathara Darma.
Puntadewa mempunyai watak; sabar, ikhlas, percaya atas kekuasaan Tuhan, tekun dalam agamanya, tahu membalas guna dan selalu bertindak adil dan jujur.
Puntadewa juga terkenal pandai bermain catur.
Setelah Pandawa berhasil membangun negara Amarta di hutan Mertani, Puntadewa dinobatkan sebagai raja negara Amarta bergelar Prabu Darmakusuma.
Puntadewa juga bergelar Prabu Yudhistira karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudhistira, raja jin negara Mertani.
Prabu Puntadewa menikah dengan Dewi Drupadi, putri Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Pancala, dan mempunyai seorang putra bernama Pancawala.
Prabu Puntadewa mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama Kyai Tunggulnaga dan sebuah tombak bernama Kyai Karawelang.
Dalam perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa tampil sebagai senapati perang Pandawa, dan berhasil menewaskan Prabu Salya, raja negara Mandaraka.
Sesudah berakhirnya perang Bharatayuda, Prabu Puntadewa menjadi raja negara Astina bergelar Prabu Karimataya / Kalimataya.
Setelah menobatkan Parikesit, putra Abimanyu dengan Dewi Utari sebagai raja negara Astina, Prabu Puntadewa memimpin perjalanan moksa para Pandawa yang diikuti Dewi Drupadi menuju ke Nirwana.
Artikel diambil dari :
http://ki-demang.com/gambar_wayang/index.php?option=com_content&task=view&id=984&Itemid=963
http:// wayangku.wordpress.com/2008/07/07/raden-puntadewa/
SEMAR: PERAN SUNAN KALIJAGA
SEJARAH SEMAR
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit.
Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Wayang
sumber : FB Wayang Indonesia
Berikut ini adalah sebutan yang digunakan dalam dunia pewayangan:
Begawan adalah sebutan untuk seorang pendeta yang berasal dari raja yang meninggalkan kerajaan.