HARJUNA SASRABAHU DAN RAMABARGAWA SAMA-SAMA MENCARI HARGA DIRI ATAU SEKEDAR PEMBENARAN DIRI

Gambar Ramaparasu, diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/harjuna-sasrabahu-dan-ramabargawa-sama-sama-mencari-wisnu-atau-dirinya-sendiri/



Harjuna Sasrabahu Dan Ramabargawa Sama-Sama Mencari Harga Diri Atau Sekedar Pembenaran Diri

Tak terhitung jumlah golongan satria yang telah dibunuh dengan senjata kapak dan Bargawastranya. Nama Ramaparasu sangat ditakuti oleh segenap satria diseluruh penjuru dunia. Akibatnya setiap ada kabar, bahwa kampung dan kotanya akan dilalui oleh Ramabargawa terjadilah evakuasi yang “semrawut” secara besar-besaran. Pekerti Ramabargawa ini sebetulnya sadis dan kejam, bahkan melanggar sumpahnya sendiri. Mengapa? Ramabargawa telah bersumpah akan membunuh setiap satria yang ia temui karena ia menganggap bahwa golongan satria yang melakukan pembunuhan diklasifikasikannya sebagai pembunuh. Karena itu golongan satria harus dimusnahkan. Ia benci kepada pembunuhan. Nah, disinilah letak ironi dan kalutnya pemikiran Ramabargawa.



Ia lupa bahwa apa yang dianggapnya benar itu sebetulnya malahan justru yang ia kutuk sendiri. Ia lupa bahwa dirinya sendirilah sebagai pembunuh yang sadis, kejam dan tak mengenal perikemanusiaan. Kalau ia konsekwen, seharusnya ia harus membenci dirinya sendiri, bahkan ia harus membunuh dirinya sendiri. Dan memang demikianlah akhirnya yang terjadi atas dirinya.

Pada suatu saat mencapai puncak kecapaian, Ramabargawa lalu istirahat. Ia duduk “ongkang-ongkang” sambil merenungi segala perbuatannya yang sadis itu. Di sinilah terjadi dialog yang dahsyat membentur-bentur dadanya, hampir-hampir ada serangan jantung menyerang dirinya. Ia mulai ragu-ragu dan skeptis atas tindakannya sendiri.

Pikirnya : “Kalau tindakanku ini benar, mestinya tidak lagi dilahirkan golongan satria. Tetapi kenyataannya, walaupun golongan satria sudah banyak yang kubunuh, tetapi toh sampai kini tetap dilahirkan satria, bahkan makin banyak jumlahnya. Kalau begitu mungkin akulah yang salah dan berdosa. Jadi kalau begitu sia-sia belaka pekerjaanku selama ini.”

Demikianlah ia mulai ragu. Pendek kata Ramabargawa mulai bimbang, ragu, dilemma, skeptis, putus asa, “nglokro”, murung, sesak nafas dan mulai ia terjangkit maag, sakit perut, psikosomatik, pening kepala, migraine, tekanan darah tinggi bahkan cholesterol naik sampai 400. Pendek kata terjadi komplikasi, baik dalam fisik maupun dalam mentalnya. Akhirnya ia membenci kepada dirinya sendiri.

Karena ia sudah terlanjur sumpah, bahwa hanya dapat mati oleh tangan Wisnu, maka ia berdiri sambil menyandang senjatanya menantang sejadi-jadinya berteriak mengumpat dan mengaum sebagai harimau lapar dan menghilang dalam kegelapan untuk mencari Wisnu. Ramabargawa ingin membunuh dirinya sendiri, ia mengembaara tak tahu tujuannya. Tak lama kemudian ia mendengar ada seorang raja Agung Binatara di Maespati, Harjuna Sasrabahu namanya. Prabu Harjuna Sasrabahu dipastikan olehnya sebagai penjelmaan Wisnu, karena Sang Raja mempunya ciri-ciri khas sebagai titisan Wisnu. Ia dapat tiwikrama menjadi Brahala, memiliki senjata cakra dan awas, waskita, tajam pandangannya (ngreti sakdurunge winarah), mengerti segala kejadian yang akan datang. Kalau sekarang orang semacam itu namanya “futuroloog”.

Dilain pihak Prabu Harjuna Sasrabahu pada saat itu juga sedang frustasi dilemma, bingung, tidak puas terhadap segala yang ia lihat ia rasakan dan ia alami. Ia telah jatuh dan tertimpa tangga. Karena Patih Sumantri yang ia sayangi telah gugur oleh Rahwana. Isterinya Dewi Citrawati yang ia cintai telah “nglalu” (bunuh diri) oleh tipu Kalamarica. Negara yang dibangunnya telah hancur lebur oleh bencana alam dan perang melawan Alengka. Ia pergi meninggalkan istana mencari mati. Oleh karena ia percaya bahwa hanya dapat mati oleh Wisnu, maka ia juga mencari Wisnu.

Secara lahiriah keputusan Harjuna Sasrabahu adalah suatu keputusan yang konyol. Namun apa yang hendak dikata. Itulah hidup. Harga, derajat dan semat kemuliaan serta kemewahan kadang kala membuat rasa bahagia, tetapi kenyataannya kalau salah penerapannya lebih banyak membawa malapetaka.

Suatu kenyataan, bahwa harta menyebabkan orang menjadi mentala (samapai hati) terhadap sesamanya, yang oleh filsuf Heidegger (Jerman) disebut ” “Homo homini lupus”. Yaitu bahwa sesungguhnya manusia (kalau sudah sampai pada harta, wanita dan kedudukan) merupakan serigala bagi sesamanya. Pendek kata kini Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu “concruent” sama dan sebangun, yaitu sama-sama mencari mati. Yang satu Wisnu dan yang lain mencari Wisnu atau kedua-duanya mencari Wisnu, atau kedua-duanya sama-sama hanya manusia biasa, atau malahan Wisnu kedua-duanya. Jadi dengan demikian kedua-duanya sama-sama mencari dirinya sendiri, apakah itu mungkin? Mungkin sekali, karena Wisnu berada di dalam dirinya sendiri. Bukankah kitab suci mengajarkan : Barang siapa mengenal dirinya sendiri, niscaya mengenal “Tuhannya”.

Kalau demikian halnya, kita telah memulai memasuki wilayah mistik. Memang benar, bahwa perjalanan Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu mencari Wisnu itu melambangkan orang sedang menjalankan “laku” (tao/tarekat). Karena pada hakekatnya mistik adalah suatu cara berjalan dan beramal, untuk sampai berada dekat dan bersatu dengan Sang Penciptanya.

Apakah yang terjadi bila nanti Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu sudah bertemu?

Marilah kita ikuti cerita selanjutnya…..

IR. SRI MULYONO

YUDHA MINGGU, 29 AGUSTUS 1976

Artikel ini diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/harjuna-sasrabahu-dan-ramabargawa-sama-sama-mencari-wisnu-atau-dirinya-sendiri/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
coompax-digital magazine