SEJARAH BATIK LASEMAN



















http://www.tjokrosuharto.com/catalog/product_info.php/products_id/3191?ThCsid=d337d30d89f9fc2d1fa4d5933ee725b2
http://www.tjokrosuharto.com/catalog/product_info.php/products_id/3566?ThCsid=d337d30d89f9fc2d1fa4d5933ee725b2


http://www.tjokrosuharto.com/catalog/product_info.php/products_id/3842?ThCsid=d337d30d89f9fc2d1fa4d5933ee725b2


http://www.tjokrosuharto.com/catalog/product_info.php/products_id/3839?ThCsid=d337d30d89f9fc2d1fa4d5933ee725b2




SEJARAH BATIK LASEM

Bila orang menyebut batik Jawa Tengah tentu segera menyebut Solo, Jogja, Pekalongan dan Banyumas sebagai sentra perajin batik. Padahal selain empat daerah tadi masih ada daerah lain yang juga menghasilkan batik tulis yang tidak kalah indahnya, yaitu Lasem.

.

Nah di Lasem inilah sehat dengan reiki bersama kerabat kerja produksi film 28 tahun silam berkunjung dan menyapa penduduk di sini.

Namun dalam kunjungan kedua kalinya saat ini yang bisa saya saksikan dari Kota Lasem adalah terpeliharanya warisan budaya Etnis China dengan koleksi rumah kunonya berjajar berhadap-hadapan di seluruh pelosok kota. Masing-masing rumah kuno ini dipagari oleh tembok tinggi yang mengelilingi bangunan utama terbuat dari batu bata dengan pintu gerbang tebal dari kayu jati kuno.

Kota kecamatan Lasem terletak 12 km arah timur Ibukota Kabupaten Rembang berbatasan dengan Laut Jawa sebelah Utara luasnya 45,04 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 44.879 orang ( Litbang Kompas, 2003 ). Di kota ini juga terdapat sentra industri batik kendatipun tidak setenar batik produksi Solo, Jogja atau Pekalongan. Namun kehadiran Batik Lasem merupakan kebanggaan sendiri bagi penduduk kota nelayan ini.

Batik produksi Lasem bercorak khas dengan warna merah darah ayam yang konon tidak dapat ditiru oleh pembatik dari daerah lain. Kekhasan lain Batik Lasem ini terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat pesisir utara Jawa Tengah serta Budaya Keraton Solo dan Yogyakarta.

Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh terhadap corak batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang ini yang kemudian beralih menjadi pengusaha batik di kota Lasem ini.

Menurut sejarah industri batik nusantara kehadiran batik Lasem ini sudah ada sejak berabad silam, sempat menjadi komoditi di Asia dan sempat mengharumkan kota Rembang. Awalnya batik Lasem ini menjadi batik Encim, batik yang dipakai oleh wanita keturunan Tionghoa yang berusia lanjut.

Pengaruh keraton juga ikut mewarnai corak, motif dan ragam batik tulis Lasem ini. Terbukti dengan adanya motif/ornamen kawung dan parang. Pengaruh budaya China terasa kental di sini. Sedang pengaruh masyarakat pesisir utara terlihat pada kombinasi warna cerah merah, biru, kuning dan hijau.

Ketika membuat desain motif batik tulis para pengusaha batik Lasem sangat dipengaruhi budaya leluhur mereka seperti kepercayaan dan legendanya. Misalnya terdapat corak ragam hias burung Hong dan binatang legendaris kilin atau singa. Bahkan cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem ini. Oleh karena itu batik tulis Lasem ini kemudian dikenal sebagai batik Encim tadi.

Batik Lasem bisa bersaing dengan batik Solo karena motifnya yang unik dan pernah diekspor ke Suriname. Namun saat Anda datang ke Lasem dan mencari batik tulis Lasem akan mengalami kesulitan bagaikan mencari barang antik saja. Memang sentra industri batik Lasem agak lesu mengingat pengusaha batik yang masih bertahan tinggal 12 orang saja.

Pada masa kejayaan batik tulis Lasem setiap rumah tinggal orang Tionghoa mengusahakan pembatikan dengan merekrut tenaga pembatik dari daerah desa sekitar Lasem, seperti Sarang dan Pamotan. Tenaga kerja ini melakukan pekerjaan sebagai sambilan saat menunggu musim panen dan musim tanam padi di sawah. Nah karena tenaga kerja yang direkut adalah petani desa sekitar Lasem, pada saat musim tanam dan panen padi mereka pulang ke desa. Akibatnya tenaga pembatik ini berkurang dan dengan sendirinya proses produksi batik terganggu. Anak pengusaha batik pun lebih senang bekerja sebagai pegawai kantor dan merantau keluar kota Lasem.

Menurut Sigit Wicaksono pengusaha batik tulis Lasem yang pernah diwawancarai Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, “Teknologi sablon ikut andil mematikan Batik tulis Lasem ini. Batik sablon harganya sekitar Rp. 25.000,- per lembar jauh lebih murah dari batik tulis yang harganya ratusan ribu rupiah per lembar,” katanya sambil terus tetap bertahan menjadi pengusaha batik demi menghidupi karyawannya yang tinggal beberapa orang ini. “Kasihan kalau saya tutup pabrik ini, mereka akan bekerja di mana? ungkapnya.

Apakah batik tulis Lasem hanya akan tinggal kenangan saja mengingat generasi penerus pengusaha ini sudah tidak mau meneruskan usaha orang tuanya ini? Tentunya kita semua berharap kejayaan batik tulis Lasem akan tetap bertahan lalu bangkit menjadi besar kembali seperti jaman dulu. Entah kapan waktu yang akan menjawabnya.

Sehat dengan reiki menulis dari Lasem untuk Vtr Editing.

Tulisan artikel ini diambil dari:

http://vtrediting.wordpress.com/2009/03/22/sejarah-batik-lasem/

SEJARAH BATIK PEKALONGAN







Motif Pekalongan

Motif Pekalongan ini diambil dari http://javabatik.com/hoko2.jpg



SEJARAH BATIK PEKALONGAN

Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.

Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah – daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.

Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.

Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.

Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik.

Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.

Perkembangan budaya teknik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh negara-negara itu. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa.

Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.

Pasang surut perkembangan batik Pekalongan, memperlihatkan Pekalongan layak menjadi ikon bagi perkembangan batik di Nusantara. Ikon bagi karya seni yang tak pernah menyerah dengan perkembangan zaman dan selalu dinamis. Kini batik sudah menjadi nafas kehidupan sehari-hari warga Pekalongan dan merupakan salah satu produk unggulan. Hal itu disebabkan banyaknya industri yang menghasilkan produk batik. Karena terkenal dengan produk batiknya, Pekalongan dikenal sebagai KOTA BATIK. Julukan itu datang dari suatu tradisi yang cukup lama berakar di Pekalongan. Selama periode yang panjang itulah, aneka sifat, ragam kegunaan, jenis rancangan, serta mutu batik ditentukan oleh iklim dan keberadaan serat-serat setempat, faktor sejarah, perdagangan dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham serta pemikiran baru.

Batik yang merupakan karya seni budaya yang dikagumi dunia, diantara ragam tradisional yang dihasilkan dengan teknologi celup rintang, tidak satu pun yang mampu hadir seindah dan sehalus batik Pekalongan.

Sumber artikel: Sejarah Batik Indonesia, Batik Jlamprang

Sumber foto: Pekalongan The City Of Indonesian Batik

BATIK YOGYAKARTA 3

Batik Stamp Motif Yogyakarta Kawung Benggol Ceplok Gurdo diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Stamp Motif Yogyakarta Kawung Sisik Gurdo diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Stamp Motif Yogyakarta Kawung Poleng diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Stamp Motif Yogyakarta Kawung Benggol diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Painting Motif Yogyakarta Ambar Sari diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Painting Motif Yogyakarta Blibar Latar Putih; 2. Batik Painting Blibar Latar Cemeng diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Painting Motif Yogyakarta Bintang rojo diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Painting Motif Yogyakarta Banci kasut diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Painting Motif Yogyakarta Buntal Gringsing diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Batik Painting Motif Yogyakarta Buntal Anggrek dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Motif Yogyakarta Buntal Hadinegoro diambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

GELAR BATIK YOGYAKARTA 2

Motif Yogyakarta Sidomukti latar cemeng diambil dari http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Motif Yogyakarta Galaran babon angremdiambil dari: http://batikjogjakarta.blogspot.com/2008_03_01_archive.html

Motif Batik Nitik Brendi diambil dari: www.asiawelcome.com

Motif Nitik Sekar Tanjung diambil dari:

GELAR BATIK YOGYAKARTA

SEJARAH BATIK YOGYAKARTA

SEJARAH BATIK YOGYAKARTA

Melacak Sejarah Motif Batik Kraton

PROF DR SUJOKO (ALM), PAKAR SENI RUPA DARI ITB PERNAH MENYAMPAIKAN DI YOGYAKARTA, BAHWA PELUKIS PERTAMA DARI INDONESIA ADALAH PEREMPUAN JAWA YANG “MELUKIS” DENGAN CANTING DI ATAS BAHAN TENUNANNYA.

Melukis dengan canting, sudah jelas yang dimaksud tentu membatik. Dan, merujuk pada penjelasan waktu pada kalimat sang profesor tersebut, sudah sangat menjelaskan pula bahwa batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling tua di Indonesia.

Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” yang diaplikasikan ke atas kain untuk menahan masuknya bahan pewarna.

Dari zaman kerajaan Mataram Hindu sampai masuknya agama demi agama ke Pulau Jawa, sejak datangnya para pedagang India, Cina, Arab, yang kemudian disusul oleh para pedagang dari Eropa, sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang dalam perjalanannya memunculkan Kraton Yogyakarta dan Surakarta, batik telah hadir dengan corak dan warna yang dapat menggambarkan zaman dan lingkungan yang melahirkan.

Pada abad XVII, batik bertahan menjadi bahan perantara tukar-menukar di Nusantara hingga tahun-tahun permulaan abab XIX. Memang. Ketika itu batik di Pulau Jawa yang menjadi suatu hasil seni di dalam kraton telah menjadi komoditi perdagangan yang menarik di sepanjang pesisir utara.

Menurut Mari S Condronegoro dari trah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, di lingkungan bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, kampuh, semuanya berupa kain batik. Begitu pula dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik.

Dahulu, kain batik dibuat oleh para putri sultan sejak masih berupa mori, diproses, hingga menjadi kain batik siap pakai. Semuanya dikerjakan oleh para putri dibantu para abdi dalem. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Murdijati Gardjito dari Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad, membatik di lingkungan kraton merupakan pekerjaan domestik para perempuan. Sebagai perempuan Jawa, ada keharusan bisa membatik, karena membatik sama dengan melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa, dan olah karsa.

Keberadaan batik Yogyakarta tentu saja tidak terlepas dari sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, ia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelasuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris.

Sebagai raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah raja pendiri kerajaan Mataram, maka oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di lingkungan istana.

Motif larangan tersebut dicanangkan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Pola batik yang termasuk larangan antara lain: Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, serta motif parang-parangan yang ukurannya sama dengan parang rusak.

Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Kraton Surakarta kepada Kraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan kraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik.

Kalaupun batik di kraton Surakarta mengalami beragam inovasi, namun sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik Kraton Yogyakarta. Ketika tahun 1813, muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles, perpecahan itu ternyata tidak melahirkan perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik tlatah tersebut.

Menurut KRAy SM Anglingkusumo, menantu KGPAA Paku Alam VIII, motif-motif larangan tersebut diizinkan memasuki tlatah Kraton Puro Pakualaman, Kasultanan Surakarta maupun Mangkunegaran. Para raja dan kerabat ketiga kraton tersebut berhak mengenakan batik parang rusak barong sebab sama-sama masih keturunan Panembahan Senopati.

Batik tradisional di lingkungan Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih. Pola geometri kraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik. Sementara itu, batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Kraton KasultananYogyakarta dan warna batik Kraton Surakarta.

Jika warna putih menjadi ciri khas batik Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Kraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga yang erat antara Puro Pakualaman dengan Kraton Surakarta ketika Sri Paku Alam VII mempersunting putri Sri Susuhunan Pakubuwono X. Putri Kraton Surakarta inilah yang memberi warna dan nuansa Surakarta pada batik Pakualaman, hingga akhirnya terjadi perpaduan keduanya.

Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman, yakni Pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro yang merupakan ciptaan RM Notoadisuryo. Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal, antara lain: Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang Barong Bintang Leider, dan sebagainya.

Begitulah. Batik painting pada awal kelahirannya di lingkungan kraton dibuat dengan penuh perhitungan makna filosofi yang dalam. Kini, batik telah meruyak ke luar wilayah benteng istana menjadi produk industri busana yang dibuat secara massal melalui teknik printing atau melalui proses lainnya. Bahkan diperebutkan sejumlah negara sebagai produk budaya miliknya.

Barangkali sah-sah saja. Tetapi selama itu masih bernama batik, maka sebenarnya tak ada yang perlu diperdebatkan tentang siapa pemilik aslinya. Bukankah kata “batik” (amba titik), sudah menjelaskan dari mana asal muasal bahasanya?

Sumber: Melacak Sejarah Motif Batik Kraton

Artikel di sunting dari www.desaingrafisindonesia.wordpress.com

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
coompax-digital magazine